Selasa, 24 Februari 2015


Oleh Dede Mudopar
Ahmad Bakri dilahirkan di Rancah, Ciamis pada tanggal 11 Mei 1917 dan meninggal pada tanggal 18 Juli 1988. Pernah bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) selama 3 tahun. Kemudian melanjutkan sekolah ke Schakel School (Sekolah Lanjutan) di Ciamis. Pernah juga beliau belajar ilmu agama di Pesantren Genteng dan Sadewa. Pada tahun 1937, beliau ikut kursus mortir namun tidak sampai tamat. Kemudian beliau bekerja di PTT sampai jaman penjajahan Jepang.
Setelah pengakuan kedaulat RI pada tahun 1949, Ahmad Bakri sekeluarga pindah ke Bandung dikarenakan kampung halamannya termasuk wilayah DI/TII yang membuatnya merasa tidak nyaman hidup di kampung halamannya. Pernah menjadi guru di SD Cicadas (1952). Beliau mengikuti ujian persamaan SGB, kemudian KGA, dan B-1 Basa Sunda. Setelah mengantongi gelar diploma B-1, Ahmad Bakri ditempatkan menjadi pengajar di SPG Ciamis sampai beliau pensiun. Setelah pensiun, beliau diangkat jadi Kepala Sekolah SPG Muhammadiyah Ciamis, namun beliau meminta untuk diturunkan menjadi wakil kepala sekolah karena ingin mempunyai banyak waktu untuk mengarang.
Mulai mengirimkan naskah ke Bale Pustaka pada tahun 1937 namun naskahnya ditolak. Dan mulai lagi menulis pada tahun 1963. Empat dari naskahnya mendapat hadiah IKAPI Jabar. Diantaranya Kabandang Ku Kuda Lumping, Nu Sengit Dipulang Asih, Payung Butut dan Rajapati di Pananjung. Jago-jago kecil mendapatkan hadiah Unesco/IKAPI pada tahun 1968. Kemudian naskah Memburu Penculik mendapatkan hadiah Panitia Tahun Buku Internasional pada tahun 1972. Buku-buku lainnya yang beliau hasilkan diantaranya Srangenge Surup Manten (1968), Si Tapa dan Bidadari (1975), Diperalat Pencuri (1975), Sanghiang Lutung Kasarung (1976), Sudagar Batik (1980), Potret, Lebe Kabayan, Jurutulis Malingping, Mayit dina Dahan Jengkol, Dukun Lepus, dan Asmaramurka jeung Bedog Si Rajapati.
Selain produktif, Ahmad Bakri juga memiliki kelebihan dibanding dengan pengarang lainnya, dia piawai dalam mengolah kata-kata dalam dialog serta pemilihan diksi yang sangat menarik. Dengan bahasa yang lugas khas dialek Ciamis. Selain itu, dia juga selalu membumbui ceritanya dengan humor-humor segar khas orang-orang pedesaan. Setting yang digunakan dalam cerita-ceritanya juga adalah pedesaan. Tapi justru dengan memilih setting pedesaan dia semakin mempunyai ciri khas. Baik itu dalam diksi yang digunakan, maupun dalam hal mengkritik permasalahan yang ada dari sudut pandang orang-orang kecil atau orang-orang pedesaan.
Dalam mengkritik kehidupan sosial masyarakat, Ahmad Bakri seakan-akan menyuarakan suara rakyat kecil pedesaan. Mengkritik dengan kesadaran yang melekat pada dirinya bahwa tindakan menyimpang banyak dilakukan oleh para pamong pemerintah. Pamong pemerintah yang ia kritiki pun pamong pemerintah desa yang dirasa dekat dirinya. Dalam salah satu carita pondok yang berjudul Kabeureuyan (dalam buku Dukun Lepus, Kiblat Buku Utama, 2002), tokoh Abah Apung mengkritiki Kuwu yang menyelewengkan uang rakyat. Pada suatu hari Abah Apung kabeureuyan tulang hayam, sehingga tenggorokannya sakit. Tak lama kemudian dia sembuh. Dan Kuwu datang ke rumahnya untuk meminjam uan untuk mengganti uang rakyat yang ia korupsi. Ada dialog yang unik, yang saya rasa ini adalah kritik yang khas yang dilontarkan oleh Abah Apung yang dalam konteksnya mewakili rakyat kecil. Dialognya sebagai berikut:
Kabeureuyan atuh nya Mas Kuwu téh? Na atuh bet tambarakan pisan? Akang onaman baréto saukur kabeureuyan ku tulang hayam. Nyerina najan pohara ogé, ukur popoéan. Urutna téh semet boga hutang ka warung, nganjuk Indomilek. Ayeuna ogé geus lunas deui.”
Perkataan Abah Apung di atas merupakan suara rakyat kecil dalam menyikapi korupsi, yang saya rasa, kontekstual dengan masa sekarang. Banyak orang kabeureuyan uang rakyat.
Mungkin saya yang malas untuk membaca karya pengarang Sunda lainnya atau mungkin pendapat saya benar, bahwa sampai saat ini belum ada pengarang Sunda yang se-jembar  dan se-mumpuni seperti Ahmad Bakri. Wallahu alam.
Salam baktos, kanggo Bapa Ahmad Bakri di kalangenan.

0 comments:

Posting Komentar