Oleh Dede Mudopar
Ahmad
Bakri dilahirkan di Rancah, Ciamis pada tanggal 11 Mei 1917 dan meninggal pada
tanggal 18 Juli 1988. Pernah bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) selama 3 tahun.
Kemudian melanjutkan sekolah ke Schakel School (Sekolah Lanjutan) di Ciamis.
Pernah juga beliau belajar ilmu agama di Pesantren Genteng dan Sadewa. Pada
tahun 1937, beliau ikut kursus mortir namun tidak sampai tamat. Kemudian beliau
bekerja di PTT sampai jaman penjajahan Jepang.
Setelah
pengakuan kedaulat RI pada tahun 1949, Ahmad Bakri sekeluarga pindah ke Bandung
dikarenakan kampung halamannya termasuk wilayah DI/TII yang membuatnya merasa
tidak nyaman hidup di kampung halamannya. Pernah menjadi guru di SD Cicadas
(1952). Beliau mengikuti ujian persamaan SGB, kemudian KGA, dan B-1 Basa Sunda.
Setelah mengantongi gelar diploma B-1, Ahmad Bakri ditempatkan menjadi pengajar
di SPG Ciamis sampai beliau pensiun. Setelah pensiun, beliau diangkat jadi
Kepala Sekolah SPG Muhammadiyah Ciamis, namun beliau meminta untuk diturunkan
menjadi wakil kepala sekolah karena ingin mempunyai banyak waktu untuk
mengarang.
Mulai
mengirimkan naskah ke Bale Pustaka pada tahun 1937 namun naskahnya ditolak. Dan
mulai lagi menulis pada tahun 1963. Empat dari naskahnya mendapat hadiah IKAPI
Jabar. Diantaranya Kabandang Ku Kuda
Lumping, Nu Sengit Dipulang Asih, Payung Butut dan Rajapati di Pananjung. Jago-jago kecil
mendapatkan hadiah Unesco/IKAPI pada tahun 1968. Kemudian naskah Memburu
Penculik mendapatkan hadiah Panitia Tahun Buku Internasional pada tahun 1972.
Buku-buku lainnya yang beliau hasilkan diantaranya Srangenge Surup Manten (1968), Si
Tapa dan Bidadari (1975), Diperalat
Pencuri (1975), Sanghiang Lutung
Kasarung (1976), Sudagar Batik
(1980), Potret, Lebe Kabayan, Jurutulis Malingping, Mayit dina Dahan Jengkol, Dukun
Lepus, dan Asmaramurka jeung Bedog Si Rajapati.
Selain
produktif, Ahmad Bakri juga memiliki kelebihan dibanding dengan pengarang
lainnya, dia piawai dalam mengolah kata-kata dalam dialog serta pemilihan diksi
yang sangat menarik. Dengan bahasa yang lugas khas dialek Ciamis. Selain itu,
dia juga selalu membumbui ceritanya dengan humor-humor segar khas orang-orang
pedesaan. Setting yang digunakan dalam cerita-ceritanya juga adalah pedesaan.
Tapi justru dengan memilih setting pedesaan dia semakin mempunyai ciri khas.
Baik itu dalam diksi yang digunakan, maupun dalam hal mengkritik permasalahan
yang ada dari sudut pandang orang-orang kecil atau orang-orang pedesaan.
Dalam
mengkritik kehidupan sosial masyarakat, Ahmad Bakri seakan-akan menyuarakan
suara rakyat kecil pedesaan. Mengkritik dengan kesadaran yang melekat pada
dirinya bahwa tindakan menyimpang banyak dilakukan oleh para pamong pemerintah.
Pamong pemerintah yang ia kritiki pun pamong pemerintah desa yang dirasa dekat
dirinya. Dalam salah satu carita pondok yang berjudul Kabeureuyan (dalam buku Dukun Lepus, Kiblat Buku Utama, 2002),
tokoh Abah Apung mengkritiki Kuwu yang menyelewengkan uang rakyat. Pada suatu
hari Abah Apung kabeureuyan tulang hayam, sehingga tenggorokannya sakit. Tak
lama kemudian dia sembuh. Dan Kuwu datang ke rumahnya untuk meminjam uan untuk
mengganti uang rakyat yang ia korupsi. Ada dialog yang unik, yang saya rasa ini
adalah kritik yang khas yang dilontarkan oleh Abah Apung yang dalam konteksnya
mewakili rakyat kecil. Dialognya sebagai berikut:
“Kabeureuyan atuh nya Mas Kuwu téh? Na atuh
bet tambarakan pisan? Akang onaman baréto saukur kabeureuyan ku tulang hayam.
Nyerina najan pohara ogé, ukur popoéan. Urutna téh semet boga hutang ka warung,
nganjuk Indomilek. Ayeuna ogé geus lunas deui.”
Perkataan
Abah Apung di atas merupakan suara rakyat kecil dalam menyikapi korupsi, yang
saya rasa, kontekstual dengan masa sekarang. Banyak orang kabeureuyan uang rakyat.
Mungkin
saya yang malas untuk membaca karya pengarang Sunda lainnya atau mungkin
pendapat saya benar, bahwa sampai saat ini belum ada pengarang Sunda yang se-jembar dan se-mumpuni seperti Ahmad Bakri. Wallahu alam.
Salam baktos, kanggo
Bapa Ahmad Bakri di kalangenan.
RSS Feed
Twitter
20.54
Suara Sastra
0 comments:
Posting Komentar