Jumat, 20 Maret 2015

Jika Anda mempunyai tulisan atau artikel seputar dunia kesusastraan dan ingin dipublikasikan di blog kami, kirimkan karya Anda ke alamat email: bersastra@gmail.com. Terimakasih.
Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.

Sastra Pujangga Baru adalah Sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi “bapak” sastra medern Indonesia.

Pada masa ini, terbit pula majalah “Poedjangga Baroe” yang dipimpin oleh Sultan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane.
1.      Kelompok “ Seni untuk Seni ”
2.      Kelompok “ Seni untuk Pembangunan Masyarakat “

Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan Pujangga Baru antara lain sbb:

-Sudah menggunakan bahasa Indonesia
-Menceritakan kehidupan masyarakat kota, persoalan intelektual, emansipasi ( struktur cerita/konflik sudah berkembang)
-Pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional
-Menonjolkan nasionalisme, romantisme, individualisme, intelektualisme, dan materialisme.

Salah satu karya sastra terkenal dari Angkatan Pujangga Baru adalah Layar Terkembangkarya Sultan Takdir Alisyahbana.
Layar Terkembang merupakan kisah roman antara 3 muda-mudi; Yusuf, Maria, dan Tuti.
-Yusuf adalah seseorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang menghargai wanita.
-Maria adalah seorang mahasiswi periang, senang akan pakaian bagus, dan memandang kehidupan dengan penuh kebahagian.
- Tuti adalah guru dan juga seorang gadis pemikir yang berbicara seperlunya saja, aktif dalam perkumpulan dan memperjuangkan kemajuan wanita.

Selain Layar Terkembang, Sultan Takdir Alisyahbana juga membuat sebuah puisi yang berjudul “Menuju ke Laut”.
Puisi “Menuju ke Laut” karya sultan Alisyahbana ini menggunakan laut untuk mengungkapkan hubungan antar manusia,alam,dan Tuhan.
Ada pula seorang Pujangga Baru lainnya,Sanusi Pane yang menggunakan laut sebagai sebagai sarana untuk mengungkapkan hubungan antar manusia,alam,dan Tuhan
Karya Sanusi Pane ini tertuang dalam bentuk puisi yang berjudul “ Dalam Gelombang “

Sastrawan pada Angkatan Pujuangga Baru beserta hasil karyanya antara lain sebagai berikut :
Sultan Takdir Ali Syahbana
-          Contoh : Di Kakimu, Bertemu
Sutomo Djauhar Arifin
-          Contoh : Andang Teruna (fragmen)
Rustam Effendi
-          Contoh : Bunda dan Anak, Lagu Waktu Kecil
Asmoro Hadi
-          Contoh : Rindu, Hidup Baru
Hamidah
-          Contoh : Berpisah, Kehilangan Mestika (fragmen)
Angkatan ini memiliki ciri dengan tema yang lebih menonjol dari angkatan sebelumnya yaitu politik dan protes sosial. Angkatan ini menggunakan kalimat yang panjang dan bisa dibilang mendekati bentuk prosa.
Tokoh dalam Angkata `66 adalah :
  • Kumpulan puisi Blues untuk Bnie dan Ballada Orang-Orang Tercinta, karya W.S. Rendra
  • Kumpulan puisi Tirani, karya Taufiq Ismail
  • Novel Pada Sebuah Kapal, karya N.H. Dini
  • Novel Kemarau, karya A.A. Navis
  • Novel Pulang, karya Toha Mohtar
  • Novel Burung-burung Manyar, karya Mangunwijaya
  • Novel Ziarah, Iwan Simatupang
  • Novel Harimau-Harimau, karya Mochtar Lubis
  • Angkatan ini memiliki ciri yang lebih bebas dalam prosa dan puisinya. Prosa dalam angkatan ini mempunyai corak realisme, sedangkan puisinya mempunyai corak ekspresionisme. Setting dan tema yang kebanyakan diambil angkatan ini adalah masa revolusi. Angkatan ini lebih mementingkan isi sastra ketimbang keindahan bahasa yang dipakai, sehingga angkatan ini jarang yang menghasilkan roman seperti pada angkatan sebelumnya. 
Tokoh dalam Angkatan `45 yaitu : 
  • Kumpulan drama Sedih dan Gembira, karya Mochtar Lubis
  • Kumpulan puisi Deru Campur Debu, karya Chairil Anwar
  • Novel Keluarga Gerilya, Pramoedya Anantya Toer
  • Novel Atheis, karya Achdiat Kartamiharja
  • Novel Aki dan Surabaya, Idrus

Angkatan ini memiliki ciri umum yaitu tema karya seputar konflik adat di mana kaum tua berkonflik dengan kamu muda, kawin paksa, perjodohan, dan kasih yang tak sampai. Corak aliran pada angkatan ini adalah romantik sentimental yang menggunakan bahasa Melayu dan bahan cerita biasanya berasal dari Minangkabau.
Tokoh dalam Angkatan Balai Pustaka :
  • Roman Azab dan Sengsara karya Merari Siregar
  • Roman Siti Nurbaya, karya Marah Rusli
  • Roman Di Bawah Lindungan Ka’bah, karya Hamka
  • Roman Salah Asuhan, karya Abdul Muis
  • Novel Sengsara Membawa Nikmat, karya Tulis Sutan Sati
  • Novel Apa Dayaku Karena Aku Seorang Perempuan, karya Nur Sutan Iskandar
  • Kumpulan cerpen Teman Duduk, karya M Kasim
  • Novel Kehilangan Mestika, karya Hamidah

  • Angkatan 30-an (Angkatan Pujangga Baru)
  1. Angkatan ini memiliki ciri yang berbeda dari angkatan sebelumnya, yaitu : 
  2. Tema lebih kompleks seperti emansipasi perempuan, kehidupan kalangan intelektual, dan banyak lagi.
  3. Karya tidak lagi menggunakan bahasa Melayu, tetapi menggunakan bahasa Indonesia modern
  4. Bentuk karya lebih bebas dan mementingkan keindahan bahasa, seperti puisi bebas dan juga sonata
  5. Tema karya kental dengan setting masyarakat dalam masa penjajahan
  6. Aliran karya yang dianut yaitu romantik idealisme
  7. Karya sangat dipengaruhi oleh barat
Tokoh dalam Angkatan Pujangga Baru yaitu :
  • Novel Layar Terkembang dan roman Dian Tak Kunjung Padam, karya Sutan Takdir Alisjahbana
  • Roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, karya Hamka
  • Novel Belenggu, karya Armin Pane
  • Drama Ken Arok dan Ken Dedes, karya M. Yamin
  • Kumpulan puisi Setanggi Timur dan Nyanyi Sunyi, karya Amir Hamzah
  • Bebasari, karya Rustam Effendi
  • Manusia Baru, karya Sanusi Pane
Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Puisi adalah karya sastra tertulis yang paling awal ditulis oleh manusia. (Herman Waluyo). Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). (Sumardi).

Pengertian lain dari puisi adalah ekspresi bahasa yang kaya dan penuh daya pikat (James Reevas). Puisi merupakan ungkapan pikiran yang bersifat musikal (Thomas Carlye). Puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan (Pradopo). Puisi merupakan bentuk  pengucapan gagasan yang bersifat emosional dengan mempertimbangkan efek keindahan (Herbert Spencer)
Jenis Puisi
1.    Puisi lama
2.    Puisi baru

A.  Puisi Lama
Puisi lama adalah puisi yang terikat oleh aturan-aturan. Aturan seperti Jumlah kata dalam 1 baris, Jumlah baris dalam 1 bait, Persajakan (rima), Banyak suku kata tiap baris dan Irama

1.    Jenis puisi lama
Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib
Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka.
Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek.
Seloka adalah pantun berkait.
Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat.
Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita.
Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris.

B.  Puisi Baru
Puisi baru adalah puisi yang tidak terikat oleh aturan. bentuknya lebih bebas daripada puisi lama baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima

2.    Jenis Puisi Baru
Balada adalah puisi berisi kisah/cerita. Balada jenis ini terdiri dari 3 (tiga) bait, masing-masing dengan 8 (delapan) larik dengan skema rima a-b-a-b-b-c-c-b. Kemudian skema rima berubah menjadi a-b-a-b-b-c-b-c. Larik terakhir dalam bait pertama digunakan sebagai refren dalam bait-bait berikutnya
Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan.
Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa. Nada dan gayanya sangat resmi (metrumnya ketat), bernada anggun, membahas sesuatu yang mulia, bersifat menyanjung baik terhadap pribadi tertentu atau peristiwa umum.
Epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup
Romansa adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih
Elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan
Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik
Distikon, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas dua baris (puisi dua seuntai).
Terzina, puisi yang tiap baitnya terdiri atas tiga baris (puisi tiga seuntai).
Kuatrain, puisi yang tiap baitnya terdiri atas empat baris (puisi empat seuntai).
Kuint, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas lima baris (puisi lima seuntai).
Sektet, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas enam baris (puisi enam seuntai).
Septime, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas tujuh baris (tujuh seuntai).
Oktaf/Stanza, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas delapan baris (double kutrain atau puisi delapan seuntai).
Soneta, adalah puisi yang terdiri atas empat belas baris yang terbagi menjadi dua, dua bait pertama masing-masing empat baris dan dua bait kedua masing-masing tiga baris

Struktur Puisi
A.  Struktur fisik puisi
Diksi yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya
Imaji yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan.
Kata konkret yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji.
Gaya bahasa yaitu penggunaan bahasa yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu.
Rima/Irama adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi.
Tipografi yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.

B.  Sruktur Batin Puisi
Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya.
Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca
Amanat/tujuan/maksud (itention); yaitu pesan yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca.

Selasa, 03 Maret 2015

Keep Romantic Guys :)
Beranikan Diri ! :)

Minggu, 01 Maret 2015

Sepenggal bait indah dari sastrawan Teddi Muhtadin :)

Indahnya mencinta :)

Kamis, 26 Februari 2015

Ku Taufik Rahayu

Ibur salelembur éar sadédésa. Di lembur Cihanjuang aya nu tilelep di walungan Cisadané. Sababaraha urang budak umur welasan taun nu keur anteng ngarojay, bet kudu aya nu cilaka. Si Salim nu katibanan ku papaitna. Manéhna jadi wadal leuwi Cisadané.
Nu ngarojay téh barudak nu keur mareujeuhna barangor. Kabéhanana salapan urang nu tos ngurek di sawah. Tengah poé éréng-éréngan tuluy tarurun ka walungan. Hayang ngojay miceun késang  jeung pangpangna mah teu kuat ku morérétna poé.
Ku kolot-kolotna barudak téh geus diomat-omatan ulah wani-wani ngojay di walungan Cisadané nu kacida sangetna. Tapi bubuhan barudak leutik teu apal dikakolotan, teu ngagugu kana panyaram kolot. Kaayaan kacida bayeungyangna, ningali di lebakeun sawah aya walungan nu ngagenyas, teu mikir panjang deui.
Barudak nu keur aranteng ngarojay teu eungeuh yén si Salim geus leungit. Heurey gerah di walungan, silih simbeuh jeung patinggorowok. Temponan balik kakara maranéhna engeuh aya nu leungit. Komo barang ningali aya baju sasetel ngalumbuk can aya nu maké mah.
Mimitina mah teu nyangka si Salim leungit, meureun keur kahampangan di hilir. Tapi barang diaprak, boh ka hilir boh ka girang, weléh teu taya laratanana. Geus ditutungguan teu kénéh balik mah, barudak langsung birat ka lembur ngabéjaan kolot-kolot.
Lurah Abo nu dibéjaan langsung méré intuksi ka RT pikeun ngumumkeun kana pangeras, sakabéh urang lembur kudu ngilu néangan si Salim nu leungit. Teu kudu ngadagoan lila, urang lembur tamplok kabéh ka leuwi Cisadané. Leuwi diteuleuman. Hilir jeung ka girang diaprak ku saréréa, tapi weléh si Sallim teu kapanggih laratanana.
“Ari barudak sok gagabah, puguh ieu leuwi téh disangetkeun, ku keukeuh wani-wani ngojayan! Kolot waé rerempodan mun pareng meuntas sasakna, ieu kalah diojayan.” Lurah Abo semu kukulutus, bari tuluy gék dina batu nyinghareupan sasak Cisadané. Dina walunganana masih kénéh katembong aya nu neuleuman leuwi pilih genti néangan si Salim.
“Barudak lalenger wungkul da éta mah. Nya si Salim deui nu sok ngaluluguan teu benerna téh. Éta ogé ceuk katerangan barudak basa ditalékan hiji-hiji, si Salim nu keukeuh ngajakan ngojay téh!” ceuk RT Seblu.
Teu lila jol Aki Ohan ti hilir, paromana siga nu kuciwa. Tuluy gék milu diuk deukeut Lurah Abo.
“Tah geuning aya Ki Ohan,” ceuk RT Seblu, “tah pa lurah, Ki Ohan nu apal kana sangetna ieu leuwi.”
“Cing-cing Ki, hayang apal nu sacéréwéléna pangna ieu leuwi disangetkeun. Nya jurig naon nu ngageugeuhna?.” Ceuk Lurah Abo bari tuluy sidakep nyinghareup ka Ki Ohan.
“Baheula mun kawénéhan, nu meuntas sasak Cisadané, sok remen ningali samak ngampar dina batu damprak itu,” kituna téh bari nuduhkeun kana batu damprak nu ayeuna diriung ku jelema nu keur nareuleuman néangan jasad si Salim. “Osok ogé témbong dina sisi leuwi nu déét ngampar samak, bubuhan caina hérang.”
Lurah jeung RT Seblu tuluy ngised diukna ngadeukeutan Ki Ohan.
“Tapi Aki mah ngalaman pisan. Aki sorangan ampir-ampiran jadi wadal di leuwi. Harita Aki keur ngarit, lantaran ngélod balik pasosoré. Pas ngaliwat sasak Cisadané dina batu damprak kaciri aya samak. Aki lir dipohokeun kana kasangetan ieu leuwi. Komo barang ningali samak ngampar dina batu damprak mah, kabita waé nu aya. Eukeur mah di imah téh samak geus ruksak. Dina pikiran téh meureun samak nu keur dipoé kabawa palid ti girang. Langsung tuturubun bari ngécagkeun karung jukut. Ngan barang antel kana samak, kaciri samak téh siga nu hirup jeung rék ngabulen leungeun. Nyaho kitu mah geus teu mikir panjang deui, langsung ngaberengbeng lumpat cul karung jukut, ngabingbrit ka lemburkeun. Nepi di lembur langsung teu inget di bumi alam.”
“Terus kumaha Aki?” ceuk Lurah Abo siga nu panasaraneun.
“Saterusna mah ieu leuwi beuki sanget. Tapi teu saeutik ogé urang lembur nu nyebutkeun majarkeun Aki gedé wadul, jijieunan. Tapi da Aki mah teu nginjeum ceuli teu nginjeum panon, éstu kaalaman ku sorangan kalawan ampir-ampiran jadi korbanna. Meureun mun Aki kaléléd mah ieu leuwi téh dingaranan Leuwi Ohan.” Kituna teh bari ditungtungan ku seuri.
“Cenah mah mun nu geus kabawa kana cai mah sarua geus teu nyawaan. Aya nu nyebutkeun dibawa kana liangna nu ngajalur ka laut. Jasad jelema nu beunang ka léléd ku lulun samah téh tuluy dibawa ka laut pikeun disebakeun ka nu ngageugeuh laut kidul.” Aki Ohan nuluykeun caritana.
“Terus kumaha Aki?” Lurah jeung RT méh bareng.
“Ayeuna mah tong waka loba ngobrol, urang kudu buru-buru néangan saha nu wani neuleuman ieu leuwi engké peuting sosoranganan?” ceuk Ki Ohan bari ngarérét Lurah jeung RT.
Nu dirérét ukur silih pelong. Tina paromanna ogé geus kateguh euweuh nu daék.
“Naha bet kudu ti peuting Aki? Jeung naha deui bet kudu neuleuman sosorangana? Kuriak nu niat rék néangan jasad téh kalah jadi wadal ogé?” RT Seblu bangun nu panasaran.
“Hus... tong sok sompral.” Ki Ohan ngagebes, “ari urusan jeung nu kitu mah kudu ditarékahanna ti peuting, mangsa alam sepi jempling. Pameulina mémang kitu ari hayang jasadna kabawa deui mah.”
Beres kitu mah tuluy waé Lurah Abo néangan pijalmaeun nu daék neuleuman leuwi engké peuting. Loba nu teu sanggup, bararaid teuing cenah kudu teuleum sosoranganan di leuwi nu geus puguh aya jurigan, aya lulun samak nu ti beurangna geus ngala wadal.
Tapi ari disaliksik ka unggal lembur mah teu burung aya nu sanggup. Jang Ahmad putra Ustad Wawan teureuh palika nu daék téh. Jang Ahmad tuluy ngajak Lurah jeung Ki Ohan sangkan nganteur, kalawan dipapadonan tong ngaguruh, malah inditna ogé kudu mopoék cenah.
Sanepina dina sasak, tuluy Jang Ahmad papadon ka Lurah Abo jeung Ki Ohan.
“Keun tong harariwang, mun salila opat puluh menit kuring teu mucunghul deui hartina kuring geus sasab di ieu leuwi ka bawa ka laut atawa alam siluman. Tong dijieun ibur, isuk-isuk téangan waé jasad kuring di ieu leuwi, mun teu kapanggih ogé tong ibur, kuring pasti balik deui.” kitu papadonna.
Rada ngagebeg ogé Lurah Abo jeung Ki Ohan ngadéngé nu papadon kitu mah. Tapi teu bisa majar kumaha, duanana ukur bisa ngaheueuhkeun ku unggeuk.
Jang Ahmad tuluy rerencepan turun tina sasak mapay batu. Nepi dina batu damprak tuluy katémbong ngajengjen salila-lila, tayohna mah keur mapatkeun doa atawa meureun jampé pamaké palika. Da sidik Akina téh baheula palika kawéntar. Geus kitu mah lep waé teuleum.
Can ogé 20 menit, Jang Ahmad geus kaciri hanjat. Tuluy muru kanu nungguan.
“Kumaha Jang?” ceuk Lurah Abo hariweusweus.
“Wayaha Aki atawa Lurah, kudu balik  ka lembur. Ménta panitih. Aya budak téh, katémbong sukuna wungkul. Geus dikenyang teu bisa. Kudu bari ditojos ku panitih hayang kabawa deui mah. Abi hilap teu mawa, padahal pun Aki téh baheula kungsi papadon tong leupas tina panitih tukang teuleum mah,” pokna.
Lurah Abo jeung Ki Ohan teu loba tatanya, tuluy uyap-ayap kana calana jeung bajuna. Gap Ki Ohan kana kancing bajuna nu kamari lésot, untung kamari téh langsung dipanitihan.
“Alah Jang, teu kudu ka lembur ka jauh-jauh. Ieu kabeneran di Aki aya panitih mah.”
Can ogé Ki Ohan jeung Lurah Abo sempet nanya keur naon-keur naonna, Jang Ahmad geus kaburu turun mantén. Tuluy lep deui cara tadi kalawan teu jajampean ayeuna mah. Teu lila, kira-kira limawelas menitan aya nu ngaburial tarik naker, selang sababaraha menit ti cai nu ngaburukbuk motah, pucunghul Jang Ahmad bari nyekelan layon si Salim.
“Ieu bantuan mawa.” Ceuk Jang Ahmad bari tuluy hanjat mayang layon. Nu digeroan turun mantuan bari dugdagdégdég, reuwas jeung kasima. “Hayu geuwat urang ninggalkeun ieu leuwi.” Pokna deui bari tuluy haranjat mawa layon. Katémbong sareretan ku Lurah jeung Ki Ohan cai leuwi ku siga nu ngamuk motah, tapi teu hayang nengetan papanjangan, nu puguh mah hayang geura balik nepi ka lembur. Sieun Lulun Samakna hanjat ka darat.
Sabada beres mulasarah layon, bérés ngurebkeun peuting harita kénéh, sawaréh karumpul di imah Lurah Abo. Sanggeus rineh mah Jang Ahmad ngobrolkeun nu kaalamanna.
Pas diteuleuman ku Jang Ahmad kaciri deukeut liang di dasar leuwi suku si Salim, dibetot ku leungeunna kalah béak tanaga jeung témbong léléd samakna siga rék malikan ka nu ngagangguna. Keur kitu tuluy Jang Ahmad inget kana papagah akina. Mun hayang leupas tina jiretan léléd samak kudu ditojos ku jarum, kakara bakal leupas. Kulantaran éta cenah palikan mah wajib mawa panitih. Salian ti keur ngungkulan nu kitu ogé, keur ngararasakeun lamun pareng keur teuleum disasabkeun ka laut ka dunya siluman, tojoskeun éta panitih kana awak sorangan. Lamun teu karasa nanaon jeung euweuh getihan, éta geus dipastikeun aya dina alam siluman. Sedeng lamun nyeri jeung kaluar getih éta tandana geus aya deui di dunya nyata.
Ti saprak kajadian éta, leuwi Cisadané robah ngaranna jadi leuwi Salim. Urang lembur percaya mun leuwih dingaranan korban, éta leuwi teu moal ménta deui wadal manusa. Salian ti éta oge pikeun pangéling-ngéling ka nu lain yén di éta tempat kungsi aya kajadian rajapati, nu taya lian ti Si Salim. Kahareupna tangtu kudu ati-ati lamun nincak ka éta tempat.*** Pamijahan, 26 Désémber 2013


*Diréka tina kajadian nyata nu dicaritakeun ku sesepuh di Pamijahan


#dimuat dina majalah Mangle No. 246

Ku Taufik Rahayu




Nu geulis sok jadi werejit, nu lenjang sok jadi baruang. Teu salah kekecapan karuhun urang saperti kitu téh. Ari kangaranan werejit atawa baruang, lain waé mawa bahla ka nu lain, tapi mun kurang-kurang mawas mah deuih sok kalah ngakalakeun diri sorangan.



Di hiji lembur nu katelah lembur Banjarsari, aya hiji jalma nu keur nandang gering alatan keuna ku supata sorangan. Éta jalma téh parawan kolot nu nelah Nyi Siwitri. Demi Nyi Sawitri, ti baheula mula teu weléh jadi catur bukur urang lembur. Puluh-puluh taun katukang kungsi kacaturkeun jadi béntang lembur nu kageulisanana jadi sabiwir hiji.

Kabéhdieunakeun, nu jadi catur téh lain waé kageulisanana, tapi ku tampikanana ka unggal jalma. Teu dijajaka teu diduda, kabéh euweuh nu bisa nalukeun haté Nyi Sawitri. Nu beunghar nu nanjung, aya waé nu kacawadna.

Tungtungna manéhna nepi ka kapopohoan, yén rupa téh moal salawasna lana. Nu hirup keuna ku waktuna kolot, panyakit, jeung sajabana. Jeung deuih ari rupa ditangtungan awéwé, gampang pisan robahna, séjén jeung dikeukeureutan lalaki.

Sababaraha taun ti harita Nya Sawitri katelah mojang tampikan, nepi ka umurna nu leuwih ti 30 taun can kénéh diparengkeun laki-rabi. Indung bapana kurang kumaha narékahan sangkan Nyi Sawitri léah haténa geura ngawangun rumah tangga, tapi bubuhan ka anak hiji-hijina, indung jeung bapa téh sok éléh waé ku nu jadi anak. Bongan maranéhna kénéh ngogo ti bubudak, tara diwarah ti leuleutik, geus gedé ngarasa kangeunahan.

Nincak umur nu maju ka opat puluh taun, kakarék Nyi Sawitri eungeuh. Rék nepi ka iraha hirup sosoranganan? Indung bapa geus maju ka kakolot, rék saha deui nu mupujuhkeun manéhna mun indung bapa euweuh? Tapi abong adat geus kakurung ku iga, Nyi Sawitri keukeuh hayang meunangkeun bujang, aya sababaraha urang duda nu ngahéroan, can nanaon gé geus jebras-jebris mantén.

Sakali mangsa mah aya Agan beunghar nu rék sadia ngawin Nyi Sawitri, ngan cenah rék  dicandung. Demi Nyi Sawitri ngadéngé rék dicandung,  tuluy jebras-jebris, “Kawin ka duda waé geus najis, komo ieu kudu dicandung ku aki-aki! Teu sudi aing mah, mending kénéh teu kawin-kawin!” Atuh nu rék mileuleuheungkeun ogé sawios bedo cenah, dina enyana ogé boga pamajikan, keur naon geulis ogé ari goréng adat jeung haté mah.

Ari kiwari, Nyi Sawitri téh geus sakitu dikakolotananana bari angger lalagasan. Indung bapa geus teu boga, salaki jeung anak mah geus puguh taya tapak-tapakna acan. Ari kangaranan maju ka kolot, geus lumrah jalma mah sok balik deui ka budak, kudu aya nu ngurus kudu aya nu mupujuhkeun jeung nalingakeun, ari Nyi Sawitri?

Enya éta ogé aya dulur-dulurna. Boh dulur ti bapa boh dulur ti indung, tapi da ari kangaranan dulur mah teu béda jeung deungeun-deungeun, komo lamun urang kurang hadé ti anggalna. Apan sok jadi kacapangan dulur jadi batur batur jadi dulur. Aya ogé nu sok mapandékeun lamun dulur miskin sok kalah jadi batur, sabalikna mun batur beunghar sok jadi dulur. Komo ieu Nyi Sawitri mah boga dulur ogé dulur jauh wungkul, lain dulur sagetih –da anak ngan hiji-hijina.

Ari ngandelkeun harta. Nyi Sawitri teu bisa majar kumaha, sok sanajan basa aya kénéh indung bapana mah lubak-libuk, tapi sabada yatim piatu mah saha nu ngarahna? Pakaya nu aya nungtutan ludes dipaké hirup sapopoé. Kangaranan pakaya nu aya dipaké bari teu digolangkeun, tangtu ninggang dibéak.

Nyi Sawitri kiwari maju ka geringan. Ari nu kemit sok tara aya da kalah sarieuneun. Bororaah tatanggana, apan dulur-dulurna ogé kalah api lain. Panyakitna Nyi Sawitri teu puguh kunaon-naonna. Dokter jeung dukun sapamadegan yén éta mah panyakit kolot, lumbrah sagala karasa. Kabéh dieunakeun Nyi Sawitri bet siga nu siwah, mideng huleng jentul bari seuseurian sorangan.

Siwahna Nyi Sawitri beuki katara, sok kadéngéna humarurung bari nyebut-nyebut ‘siit’ ngaharib-harib rarangan lalaki. Ngan ari tatangga jeung urang lembur mah yakin lain sagélo-gélona, tapi gélo lantaran teu kawin-kawin jeung kacampuran panyakit jurig.

“Siiittt ... Siiittt ... Siiittt ...” Méh unggal peuting urang lembur teu weléh ngadéngé nu ngelak humarurung saperti kitu. Ngelakna téh sok parat nepi ka wanci tengah peuting. Urang lembur geus asa diririwaan ku jalma hirup. Tara kadarugaeun ngulampreng ka luar ti peuting.

Mimitina,  sora Nyi Sawitri nu nyebut-nyebut siit téh ngan kadéngéna kalan-kalan, tapi beuki dieu mah ngelakna saban peuting. Teu kitu wungkul,  saterusna deuih kadéngé mapay ka unggal imah. Ari nu biasa  didatanganana téh imah nu  aya mojang jeung jajakaan nu geus cukup sagalana pikeun laki-rabi. Mun pareng aya nu siit-siitan lalaki mah sok gancang nyekelan  ‘bobogaanana’, da cenah bisi teu kanyahoan dirontok ku nu ngelak, kitu ogé awéwé sok tuluy babacaan sabisa-bisa da sieun kaancikan atawa katepaan jomblo saumur-umur.

Sakali mangsa mah kungsi aya nu sué ngadon paamprok di tengah jalan peuting-peuting jeung nu siit-siitan. Na,  da éta mah cenah, inyana teh  ngayek-yek ngiihan manéh.  Rék lumpat teu bisa, rék ngajerit pon kitu deui. Nu siit-siitan téh geus teu mangrupa jelema. Awak rangkébong tulang wungkul, buuk bodas ruwag-rewig, panon bolotot jeung ompong. Kitu ogé papakéanana  geus teu matut. Teu bisa kukumaha ningalina ogé, sadar-sadar téh isuk-isuk waé geus pada ngarejengan, bari cenah éta lalaki nu sué téh tuluy boga panyakit burut.

Ti saprak kajadian harita, mun peuting téh di lembur teu pati teuing kadéngé nu siit-siitan, ngan kadéngé hawar-hawar waé ti kajauhan. Dipapantesna téh meureun mapay-mapay lembur séjén. Pikeun muguhkeun bebeneranana, tuluy ditéang ka imah Nyi Sawitri, bener waé teu kasampak. Urang lembur aya atohna ku euweuhna Nyi Sawitri téh, bubuhan jalma siwah. Dina ayana ogé kalah nyusahkeun jeung pikasieuneun. Tapi loba ogé nu mangkarunyakeun ku nanasiban nu tumiba ka Nyi Sawitri.

Nyi Sawitri, wanoja nu kungsi jadi béntang lembur jeung pada marebutkeun, bet tuluy siwah bari teu puguh hirup jeung henteuna. Nepi ka kiwari éta jasadna Nyi Sawitri teu kapanggih laratanana. Ngan mindeng pabéja-béja yén dina wanci-wanci anu tangtu  sok kadéngé sora siit-siitan. 

Nu ngadéngé éta sora sok mapatkeun parancah, “Hus hus ... nyingkah siah, aing mah da enggeus (atawa arék) laki-rabi!” Kapercayaan urang Cisompét di Pakidulan Garut mah, lamun aya awéwé parawan kolot maot, sok tuluy jadi siit. Siit téh sato leutik kawas jangkrik. Siit, ceuk dongéng urang éta lembur mah,  sato nu kaancikan jurig. Bisa  mancalaputra-mancalaputri jadi jajaka gagah atawa wanoja geulis, tuluy ngagoda ka jalma-jalma ipis iman nu liar ti peuting.***



Bandung, Maret 2014

*Midang dina majalah Mangle No. 2471 edisi April 2014

Selasa, 24 Februari 2015


Oleh Dede Mudopar
Ahmad Bakri dilahirkan di Rancah, Ciamis pada tanggal 11 Mei 1917 dan meninggal pada tanggal 18 Juli 1988. Pernah bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) selama 3 tahun. Kemudian melanjutkan sekolah ke Schakel School (Sekolah Lanjutan) di Ciamis. Pernah juga beliau belajar ilmu agama di Pesantren Genteng dan Sadewa. Pada tahun 1937, beliau ikut kursus mortir namun tidak sampai tamat. Kemudian beliau bekerja di PTT sampai jaman penjajahan Jepang.
Setelah pengakuan kedaulat RI pada tahun 1949, Ahmad Bakri sekeluarga pindah ke Bandung dikarenakan kampung halamannya termasuk wilayah DI/TII yang membuatnya merasa tidak nyaman hidup di kampung halamannya. Pernah menjadi guru di SD Cicadas (1952). Beliau mengikuti ujian persamaan SGB, kemudian KGA, dan B-1 Basa Sunda. Setelah mengantongi gelar diploma B-1, Ahmad Bakri ditempatkan menjadi pengajar di SPG Ciamis sampai beliau pensiun. Setelah pensiun, beliau diangkat jadi Kepala Sekolah SPG Muhammadiyah Ciamis, namun beliau meminta untuk diturunkan menjadi wakil kepala sekolah karena ingin mempunyai banyak waktu untuk mengarang.
Mulai mengirimkan naskah ke Bale Pustaka pada tahun 1937 namun naskahnya ditolak. Dan mulai lagi menulis pada tahun 1963. Empat dari naskahnya mendapat hadiah IKAPI Jabar. Diantaranya Kabandang Ku Kuda Lumping, Nu Sengit Dipulang Asih, Payung Butut dan Rajapati di Pananjung. Jago-jago kecil mendapatkan hadiah Unesco/IKAPI pada tahun 1968. Kemudian naskah Memburu Penculik mendapatkan hadiah Panitia Tahun Buku Internasional pada tahun 1972. Buku-buku lainnya yang beliau hasilkan diantaranya Srangenge Surup Manten (1968), Si Tapa dan Bidadari (1975), Diperalat Pencuri (1975), Sanghiang Lutung Kasarung (1976), Sudagar Batik (1980), Potret, Lebe Kabayan, Jurutulis Malingping, Mayit dina Dahan Jengkol, Dukun Lepus, dan Asmaramurka jeung Bedog Si Rajapati.
Selain produktif, Ahmad Bakri juga memiliki kelebihan dibanding dengan pengarang lainnya, dia piawai dalam mengolah kata-kata dalam dialog serta pemilihan diksi yang sangat menarik. Dengan bahasa yang lugas khas dialek Ciamis. Selain itu, dia juga selalu membumbui ceritanya dengan humor-humor segar khas orang-orang pedesaan. Setting yang digunakan dalam cerita-ceritanya juga adalah pedesaan. Tapi justru dengan memilih setting pedesaan dia semakin mempunyai ciri khas. Baik itu dalam diksi yang digunakan, maupun dalam hal mengkritik permasalahan yang ada dari sudut pandang orang-orang kecil atau orang-orang pedesaan.
Dalam mengkritik kehidupan sosial masyarakat, Ahmad Bakri seakan-akan menyuarakan suara rakyat kecil pedesaan. Mengkritik dengan kesadaran yang melekat pada dirinya bahwa tindakan menyimpang banyak dilakukan oleh para pamong pemerintah. Pamong pemerintah yang ia kritiki pun pamong pemerintah desa yang dirasa dekat dirinya. Dalam salah satu carita pondok yang berjudul Kabeureuyan (dalam buku Dukun Lepus, Kiblat Buku Utama, 2002), tokoh Abah Apung mengkritiki Kuwu yang menyelewengkan uang rakyat. Pada suatu hari Abah Apung kabeureuyan tulang hayam, sehingga tenggorokannya sakit. Tak lama kemudian dia sembuh. Dan Kuwu datang ke rumahnya untuk meminjam uan untuk mengganti uang rakyat yang ia korupsi. Ada dialog yang unik, yang saya rasa ini adalah kritik yang khas yang dilontarkan oleh Abah Apung yang dalam konteksnya mewakili rakyat kecil. Dialognya sebagai berikut:
Kabeureuyan atuh nya Mas Kuwu téh? Na atuh bet tambarakan pisan? Akang onaman baréto saukur kabeureuyan ku tulang hayam. Nyerina najan pohara ogé, ukur popoéan. Urutna téh semet boga hutang ka warung, nganjuk Indomilek. Ayeuna ogé geus lunas deui.”
Perkataan Abah Apung di atas merupakan suara rakyat kecil dalam menyikapi korupsi, yang saya rasa, kontekstual dengan masa sekarang. Banyak orang kabeureuyan uang rakyat.
Mungkin saya yang malas untuk membaca karya pengarang Sunda lainnya atau mungkin pendapat saya benar, bahwa sampai saat ini belum ada pengarang Sunda yang se-jembar  dan se-mumpuni seperti Ahmad Bakri. Wallahu alam.
Salam baktos, kanggo Bapa Ahmad Bakri di kalangenan.